Salah satu problem tidak teridentifikasinya kasus cacingan pada sapi yaitu akibat minimnya gejala klinis yang teramati. Bahkan pada kasus cacingan yang masih awal, sapi biasanya masih terlihat sehat tanpa menunjukkan gejala klinis.
Selain itu, gejala klinis yang muncul pada kasus cacingan pun merupakan gejala yang sangat umum sehingga kadang masih menyulitkan untuk mengarahkan diagnosa. Terkecuali jika kasus cacingan sudah sangat parah, maka dapat kita temukan adanya cacing dewasa pada feses sapi, terutama untuk cacing yang menyerang saluran pencernaan.
Untuk membantu meneguhkan diagnosa cacingan pada sapi dapat dilakukan melalui uji laboratorium, yaitu uji feses. Pemeriksaan atau uji feses bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing secara kualitatif maupun kuantitatif.
Selain keberadaan telur, pada feses juga dapat ditemukan keberadaan larva cacing. Lebih jauh lagi, pada uji feses ini dapat diidentifikasi jenis cacing yang menyerang berdasarkan karakteristik telur yang ditemukan.
Melalui uji ini juga kasus cacingan pada sapi dapat diidentifikasi sejak dini sehingga pengobatannya pun akan relatif lebih mudah dan kerugian ekonomi yang lebih besar dapat diminimalkan.
Pengendalian dan Penanganan Cacingan
Pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu memutus siklus hidup dari parasit cacing tersebut.
Cara ini dianggap cukup murah dan sangat efektif untuk memberantas kasus cacingan pada sapi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi di antaranya :
Program pemberian anthelmintika (obat cacing)
Pemberian anthelmintika merupakan langkah utama dalam upaya pengendalian dan penanganan cacingan baik pada pedet maupun sapi dewasa.
Pemberian anthelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak sapi yang telah dipastikan positif cacingan mengingat hampir sebagian besar sapi terutama yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan.
Program pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan sejak masih pedet (umur 7 hari) dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus siklus hidup parasit tersebut.
Sanitasi kandang dan lingkungan
Kasus cacingan pada sapi akan menjadi lebih sulit diberantas jika tidak ditunjang dengan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik.
Upaya yang dapat dilakukan di antaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan di sekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Selain itu, tanaman dan rumput-rumput liar di sekitar kadang dibersihkan serta melakukan desinfeksi kandang secara rutin.
Sistem penggembalaan dan pemberian rumput
Saat menggembalakan sapi, sebaiknya hindari tempat-tempat penggembalaan yang becek dan padang rumput yang diberi pupuk kandang tanpa diketahui dengan jelas asal usulnya. Selain itu, ternak sapi sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah.
Memutus siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir. Artinya sapi tidak terus-menerus digembalakan di tempat yang sama. Pada padang penggembalaan juga dapat ditaburkan copper sulphate untuk mencegah perkembangan larva cacing hati.
Untuk sapi yang dipelihara secara intensif, pemberian rumput segar sangat tidak dianjurkan. Sebaiknya rumput dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi guna menghindari termakannya larva cacing yang menempel pada rumput.
Populasi inang antara
Mengingat beberapa spesies cacing membutuhkan inang antara seperti siput air tawar untuk kelangsungan hidup cacing hati, maka populasinya menjadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian dan penanganan kasus cacingan.
Populasi siput air tawar dapat dikurangi dengan cara memelihara itik atau bebek yang berperan sebagai predator alami inang antara tersebut. Selain itu, lingkungan harus dijaga supaya tidak terlalu lembab dan basah karena kondisi tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup siput air tawar.
Kualitas Pakan
Percaya atau tidak, bahwa kualitas pakan mempengaruhi tingkat kejadian cacingan pada ternak sapi. Kualitas pakan, baik rumput maupun konsentrat, yang baik dapat membantu meningkatkan daya tahan ternak sapi karena nutrisi yang diperlukan tercukupi.
Monitoring telur dan larva cacing
Sebagaimana kita ketahui bahwa penularan kasus cacingan sangat mudah terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya monitoring secara rutin (2-3 bulan sekali) terhadap telur dan larva cacing melalui uji feses.
Upaya pengendalian dan penanganan cacingan ini sebenarnya sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun, untuk menunjang hal ini diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Jika kedua modal utama tersebut hanya dimiliki oleh sebagian peternak, maka dapat kita ramalkan tingkat keberhasilan pun menjadi lebih kecil.
Dari seluruh bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit cacingan telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan kerugian cukup besar. Guna mengatasi kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian dan penanganan dengan memutus siklus hidup cacing yang sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak.
Kesmavet, Berita Keswan, Kesehatan Hewan, Peternakan, Dokter Hewan
Jumat, 25 Mei 2018
Kamis, 24 Mei 2018
Faktor Pemicu Cacingan pada Sapi
Kasus cacingan yang terjadi pada sapi disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi predisposisi (pemicu) penyakit tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya umur, musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor (inang antara) dan metode pemeliharaan.
Umur
Jika dilihat dari umur serangannya, kasus cacingan pada sapi dapat menyerang semua umur. Namun, berdasarkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan, pedet cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kasus cacingan. Pedet lebih rentan terserang penyakit cacingan karena memiliki daya tahan tubuh yang belum optimal.Musim atau kondisi lingkungan
Kasus cacingan terutama sering ditemukan pada saat musim hujan atau kondisi lingkungan lembab dan basah yang umumnya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Kondisi tersebut menjadi media yang cocok untuk perkembangan telur cacing menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh sapi.
Pada peternakan sapi skala kecil, umumnya sanitasi atau kebersihan kandang masih sangat minim, sehingga kandang lebih sering dalam kondisi yang kotor dan becek. Oleh karena itu, besar kemungkinannya sapi yang dipelihara dalam kandang seperti ini terserang cacingan.
Keberadaan vektor (inang antara)
Beberapa jenis cacing yang menyerang sapi membutuhkan inang antara seperti siput air tawar dalam siklus hidupnya. Pada kondisi yang lembab, hewan ini mampu hidup dan berkembang biak dengan sangat baik.
Maka tak heran pada saat musim hujan siput air tawar ini sering kita jumpai karena populasinya yang bertambah banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus cacingan pada sapi, kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan resiko serangan parasit cacing pada ternak sapi.
Metode pemeliharaan
Jika ditinjau dari metode pemeliharaannya, sapi yang dipelihara dengan sistem tradisional (ekstensif) lebih beresiko terserang penyakit cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih modern (intensif).
Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif, sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing.
Sedangkan pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing.
Rabu, 23 Mei 2018
Cacingan pada Sapi
Penyakit cacing sapi baik
pada usaha peternakan skala besar maupun peternakan tradisional sangat
merugikan. Hal ini dikarenakan penyakit cacing yang menginfeksi sapi dapat
meyebabkan penurunan berat badan sapi secara drastis, nafsu makan berkurang,
lemah, anemia hingga menyebabkan kematian.
Akan tetapi biasanya pada
usaha peternakan komersial skala besar program pemberian obat cacing terencana
dengan baik, sedangkan pada peternakan tradisional skala kecil atau skala
pemeliharaan rumah tangga, pemberian obat cacing masih terabaikan.
Cacingan dikenal dengan
istilah helminthiasis yaitu penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi
cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun
pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan
pada saluran pencernaan dan hati.
Berdasarkan bentuknya,
jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan
yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau
cacing hati (Trematoda).
Cacing gilig (Nematoda)
Sesuai dengan namanya,
cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua
ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang
sangat kecil.
Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya
Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum, Agryostomum vryburgi, Bunostomum
phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia
ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus.
Namun, dari beberapa
spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet
(sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan
istilah toxocariasis.
Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini
habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan
spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan
betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki
ciri khas dinding telur yang tebal.
Kasus toxocariasis dimulai
dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi.
Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian
dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta
dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar
bersama kolostrum.
Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber
penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus
akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang
bisa ikut terbuang bersama feses sapi.
Dilihat dari siklus
hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui
pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui
kolostrum yang mengandung larva cacing.
Cacing pita (Cestoda)
Jenis cacing pita yang
dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus
granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup
sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum
ditemukan pada sapi terutama oleh genus Taenia, yaitu Taenia saginata.
Serangan cacing pita ini
tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur
cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva
cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus
pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot.
Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena
larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang
dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita
dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan
penyumbatan usus.
Panjang cacing T. saginata
dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut
proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid,
pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu
telur.
Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor
cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk
berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.
Cacing hati (Trematoda)
Kasus cacingan pada sapi
akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi
dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan
Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan
hewan kurban khususnya sapi.
Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia,
yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling
sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica.
Secara umum, cacing
hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica
tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing
hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan
istilah fasciolosis.
Siklus hidup cacing F.
gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu
mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus
bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama
feses.
Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk
berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput
muda Lymnaea rubiginosa.
Di dalam tubuh siput,
mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya
serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah
menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang
berbentuk kista.
Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman.
Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media
penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.
Gejala Klinik
Kasus cacingan pada ternak
sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal
serangan gejalanya sulit untuk diamati.
Secara umum sapi yang terserang
cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan
konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami
anemia.
Berdasarkan kasus yang
dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan
gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa
kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian.
Pedet yang bertahan
hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi
yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah
terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.
Sapi dewasa yang terserang
toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi
cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu
karena mengandung larva cacing ini.
Sementara pada kasus
fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa
konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi
menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan
produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan
patologi anatomi terutama pada organ hati.
Pada kasus akut (kasus penyakit
berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati,
permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong
empedu dan usus mengandung darah.
Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi
penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati).
Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali
terdapat batu empedu.
Fasciolosis pada Sapi
Infeksi cacing hati pada sapi umumnya disebabkan oleh
Fasciola gigantica. Cacing ini dapat pula menginfeksi domba, kambing, dan
ruminansia yang lain. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh F. hepatica.
Kedua jenis parasit ini berada dalam saluran empedu atau usus yang menyebabkan
kerusakan hati. Kerbau yang memiliki kebiasaan berendam dalam kubangan
berpeluang besar untuk terinfeksi cacing ini.
Cacing muda bisa mematikan karena mengakibatkan
kegagalan fungsi hati. Pada daerah-daerah tertentu fasciolosis merupakan faktor
pendorong terjadinya infeksi hepatitis nekrotik (black disease) yaitu suatu
penyakit akut yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bentuk
vegetatif Clostridium novyi tipe B karena kuman ini dapat memperbanyak diri
dalam lesi anoksik yang ditimbulkan oleh cacing-cacing yang bermigrasi. Pada saat akhir migrasi cacing-cacing ini akan memasuki
saluran empedu.
Penyebab
Penyebab fasciolosis ini adalah F. gigantica dan cacing
F. hepatica. Bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini
berbentuk gepeng, tidak beruas, berwarna kelabu berbentuk seperti daun yang
membulat di bagian depan dan ekor. Panjang F. gigantica dapat mencapai 7,5 cm.
Sedangkan F. hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di
bagian depan dan sebuah lagi di bawah tubuhnya.
F. gigantica juga berbeda dengan F. hepatica karena F.
gigantica memiliki konus atau kerucut anterior yang lebih pendek, bahu
(shoulder) yang kurang jelas, percabangan saekanya lebih banyak, dan saeka
hampir mencapai sisi paralel tubuh.
Daur hidup
Daur hidup cacing Fasciola terjadi pada induk
semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu
masuk ke dalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok
maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium
dalam waktu 9 hari.
Mirasidium kemudian berenang di air dengan menggunakan
silia yang menutupi tubuhnya. Bila bertemu dengan siput genus Limnaea,
mirasidium menembus jaringan siput dan membentuk sporosis. Pada stadium lebih
lanjut, setiap sporosis akan terbentuk 5 sampai 8 redia yang selanjutnya
membentuk serkaria dan kemudian diikuti oleh stadium akhir metaserkaria yang
infektif.
Sapi terinfeksi penyakit ini karena memakan rumput yang
mengandung metaserkaria. Setelah metaserkaria termakan oleh sapi akan menembus
dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6
minggu. Dalam setiap akhir dari larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk
menjadi cacing dewasa.
Gejala klinis
Sapi yang terinfeksi cacing akan menunjukkan gejala
gangguan pencernaan. Infeksi yang ringan tidak menunjukkan gejala. Apabila
terjadi infeksi yang banyak oleh cacing hati, maka gejalanya dapat sangat akut
dan cepat menyebabkan kematian. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi
lemah dan depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit.
Bila keadaannya telah kritis sapi menjadi kurus dan
lemah. Selaput lender mata menjadi pucat, terjadi busung terutama diantara
sudut dagu dan bawah perut. Sapi semakin lemah dan kemudian terjadi kematian
dalam waktu 1 sampai 3 bulan.
Pengobatan dan pengendalian
Pengobatan cacing dapat menggunakan heksakloretan dengan
cara diminumkan atau menggunakan mebendasol 100 ml/50 kg berat badan.
Anthelmintik fasciolisidal seperti oxyclozanide,
rafoxanide, albendazole, dan triclabendazole dapat digunakan untuk mengatasi
cacing dewasa.
Untuk pengendalian cacing dapt dilakukan secara efektif
dengan cara memberantas populasi siput sebagai induk semang antara dengan bahan
kimia, dengan predator atau melakukan rotasi padang gembalaan.
Mengeringkan (drainase) merupakan pemecahan yang paling
baik, khususnya apabila Lymnae trucantula terlibat di dalamnya, akan tetapi
cara ini dianggap terlalu mahal. Pengendalian biologi terhadap Lymnea oleh
spesies ikan tertentu, itik atau siput Marisa cornuarietis secara percobaan
memang menjanjikan namun tak satupun berhasil diterapkan di lapangan secara
luas.
Sabtu, 12 Mei 2018
Mengenal Rabies dan Sejarahnya di Indonesia
Rabies atau dikenal
sebagai Lyssa, Tollwut, Hydrophobia, atau di Indonesia dikenal sebagai Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut
pada susunan saraf yang klinis ditandai
kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini
dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan merupakan masalah pada manusia
karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia).
Rabies merupakan salah
satu penyakit tertua dan paling ditakuti manusia, pertama kali dikenal di Mesir
(Zaman Pemerintahan Kerajaan Babilonia) dan Yunani Kuno sekitar tahun 2300
sebelum Masehi. Rabies selanjutnya ditemukan di sebagian besar dunia, termasuk
Indonesia. Sedangkan Negara-negara yang bebas rabies adalah Australia, Selandia
Baru, Inggris, Belanda, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), dan sejumlah
pulau-pulau terpencil di Pasifik.
Tiap-tiap negara yang
mengenal rabies mempunyai vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan
Tengah yang beriklim tropis, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah
(vampire) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor
rabies. Di seluruh Negara di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar
utama ialah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang meneruskan
rabies terutama pada lembu yaitu anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan
di Asia yang berperanan sebagai penyebar rabies adalah anjing dan kucing.
Penyebab
Rabies disebabkan oleh
virus yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Rhabdovirus
merupakan golongan virus yang bentuknya menyerupai peluru, dengan panjang
kira-kira 180 nm dan garis tengahnya 75 nm. Pada permukaannya terdapat
bentuk-bentuk pancang (spikes) yang panjangnya 9 nm.
Virus rabies peka terhadap
panas. Suspensi virus sudah diinaktifkan pada suhu 50 selama 15 menit. Fenol,
eter, chloroform, formaldehid dan basa ammonium kuartener dapat menginaktifkan
virus rabies.
Gejala Klinis
Gejala klinis rabies mirip
pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antar individu. Setelah
terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya antara 14-90
hari tetapi bisa sampai 7 tahun. 95% masa inkubasi rabies 3-4 bulan, dan hanya
1% kasus dengan inkubasi 7 hari sampai 7 tahun. Karena lamanya masa inkubasi
tersebut kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan.
Gejala klinis pada hewan
dikenal dua bentuk yaitu bentuk beringas dan bentuk paralisis. Bentuk beringas
hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan menggigit apa saja yang ditemuinya,
respon berlebihan pada suara dan sinar, takut air (hydrophobia) dan keluar air
liur berlebihan (hipersalivasi).
Bentuk paralisis ditandai
dengan ensefalitis disertai kelemahan bagian belakang tubuh yang menyebabkan
hewan berjalan terhuyung-huyung, keganasan berubah menjadi kelumpuhan,
kejang-kejang, koma dan terhentinya pernafasan hingga berakhir dengan kematian.
Rabies di Indonesia
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena hampir selalu
menyebabkan kematian (always almost fatal) setelah timbul gejala klinis dengan
tingkat kematian sampai 100%.
Rabies pada manusia
biasanya melalui kontak dengan binatang anjing, kera, kucing, serigala,
kelelawar melalui gigitan atau kontak
virus lewat air liur dengan luka. Infeksi lain yaitu melalui inhalasi dilaporkan
pada orang yang mengunjungi gua-gua kelelewar tanpa adanya gigitan. Virus masuk ke dalam ujung saraf
yang ada pada otot di tempat gigitan dan memasuki ujung saraf tepi sampai
mencapai sistem saraf pusat yang
biasanya pada sumsum tulang belakang selanjutnya menyerang otak.
Gejala awal rabies pada
manusia berupa demam disertai rasa kesemutan pada tempat gigitan, malaise (rasa tidak enak badan),
mual, dan rasa nyeri di tenggorokan. Selanjutnya disusul dengan gejala cemas,
gelisah dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris (stimulus-sensitive
myoclonus). Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan
gejala-gejala hipersalivasi, hiperlakrimasi, pupil dilatasi dan paralisis, koma
kemudian berakhir dengan kematian.
Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies di Indonesia
pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884), anjing oleh Penning
(1889), dan pada manusia oleh E.V. de Haan (1894) yang ketiganya ditemukan di
Jawa Barat. Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953),
Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958),
Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan
Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan
Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon
dan Pulau seram (2003).
Dengan tertularnya Bali
sebagai daerah wabah baru sejak 1 Desember 2008 melalui Peraturan menteri
Pertanian No.1637/2008 maka daerah bebas sampai saat ini adalah NTB, NTT kecuali
Pulau Flores, Maluku, Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan Barat, Pulau
Madura dan sekitarnya, Pulau-pulau di sekitar Pulau Sumetera, Jawa Timur,
Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Rabies pada manusia telah
menimbulkan banyak korban. Dari tahun 1977 hingga 1978 sebelas provinsi
mencatat 142 kasus rabies pada manusia. Selama periode 1979-1983 di Indonesia
telah dilaporkan 298 kasus rabies dengan rata-rata 60 kasus per tahun.
Penyebaran daerah rabies berjalan terus sampai sekarang.
Pada dekade Sembilan puluhan
kejadian di Pulau Sumetera per tahun tidak kurang dari 1000 kasus hewan
ditemukan menderita rabies. Sedangkan kasus rabies yang dilaporkan di Pulau
Flores selama tahun 1997-2005 dari 11.786 jumlah gigitan hewan penular rabies
(HPR), sebanyak 149 orang dinyatakan meninggal (1,35%). Insiden rata-rata per
tahun kasus rabies pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia
yang telah digigit anjing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat
mengancam kepariwisataan.
Pencegahan dan
Pengendalian
Virus rabies tidak stabil
di lingkungan dan biasanya hanya menimbulkan resiko bila ditularkan melalui
gigitan atau cakaran hewan penderita rabies. Karena di Indonesia umumnya HPR
adalah anjing, maka menurut Ressang (1983), bila rabies dapat diberantas pada
anjing maka dengan sendirinya penyakit ini tidak akan menyerang lebih luas.
Dengan kata lain vektor utama rabies harus dapat dikendalikan untuk dapat
mengurangi resiko penularan lebih lanjut dari rabies tersebut.
Lebih lanjut menurutnya
pemberantasan rabies di Indonesia hendaknya berdasarkan: 1). penyadaran kepada
masyarakat tentang arti rabies dan mengikutsertakannya dalam kampanye
pemberantasan rabies. 2). Eliminasi anjing liar sebagai vektor utama yang
menyebarkan virus rabies. 3). Vaksinasi, sebagai tindakan preventif baik pada
hewan maupun manusia.
Sedangkan Tri Satya
Naipospos (mantan Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan)
menyarankan bahwa pengendalian terhadap rabies dengan metode LAS (Local Area
Spesific Problem Solving) atau pemecahan masalah melalui pendekatan spesifik
wilayah karena permasalahan spesifik masing-masing daerah berbeda. Secara umum
kegiatan pengendalian dilakukan dengan vaksinasi semua populasi HPR, observasi
terhadap hewan tersangka rabies, eliminasi HPR liar, pemberian Vaksin Anti
Rabies bagi orang beresiko tertular, dan yang paling penting terutama
pengawasan lalu lintas antar kabupaten/kota dengan pemanfaatan pos (check
point) dan di pintu-pintu masuk (entry point) oleh petugas karantina untuk
mencegah masuknya rabies ke daerah bebas atau mencegah penularan lebih luas.
Untuk perawatan kepada
orang sesudah digigit oleh anjing atau dicurigai menderita rabies yang
terpenting adalah perawatan pada
luka/tempat gigitan. Pertama luka dibiarkan mengeluarkan banyak darah, kemudian
luka dibersihkan dengan sabun dan selanjutnya luka didesinfeksi (bisa dengan
alkohol 40-70%, basa ammonium kuartener, atau yodium tincture). Virus dalam
luka dapat dinetralisir dengan suntikan infiltrasi jaringan di sekitar luka
dengan serum imun atau dengan menebarkan bedak desinfektan dalam luka.
Langganan:
Postingan (Atom)