Jumat, 25 Mei 2018

Cara Diagnosa dan Penanganan Cacingan pada Sapi

Salah satu problem tidak teridentifikasinya kasus cacingan pada sapi yaitu akibat minimnya gejala klinis yang teramati. Bahkan pada kasus cacingan yang masih awal, sapi biasanya masih terlihat sehat tanpa menunjukkan gejala klinis.

Selain itu, gejala klinis yang muncul pada kasus cacingan pun merupakan gejala yang sangat umum sehingga kadang masih menyulitkan untuk mengarahkan diagnosa. Terkecuali jika kasus cacingan sudah sangat parah, maka dapat kita temukan adanya cacing dewasa pada feses sapi, terutama untuk cacing yang menyerang saluran pencernaan.

Untuk membantu meneguhkan diagnosa cacingan pada sapi dapat dilakukan melalui uji laboratorium, yaitu uji feses. Pemeriksaan atau uji feses bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing secara kualitatif maupun kuantitatif.

Selain keberadaan telur, pada feses juga dapat ditemukan keberadaan larva cacing. Lebih jauh lagi, pada uji feses ini dapat diidentifikasi jenis cacing yang menyerang berdasarkan karakteristik telur yang ditemukan.
Melalui uji ini juga kasus cacingan pada sapi dapat diidentifikasi sejak dini sehingga pengobatannya pun akan relatif lebih mudah dan kerugian ekonomi yang lebih besar dapat diminimalkan.

Pengendalian dan Penanganan Cacingan
Pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu memutus siklus hidup dari parasit cacing tersebut.

Cara ini dianggap cukup murah dan sangat efektif untuk memberantas kasus cacingan pada sapi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi di antaranya :

Program pemberian anthelmintika (obat cacing)
Pemberian anthelmintika merupakan langkah utama dalam upaya pengendalian dan penanganan cacingan baik pada pedet maupun sapi dewasa.

Pemberian anthelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak sapi yang telah dipastikan positif cacingan mengingat hampir sebagian besar sapi terutama yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan.

Program pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan sejak masih pedet (umur 7 hari) dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus siklus hidup parasit tersebut.

Sanitasi kandang dan lingkungan
Kasus cacingan pada sapi akan menjadi lebih sulit diberantas jika tidak ditunjang dengan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan di antaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan di sekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Selain itu, tanaman dan rumput-rumput liar di sekitar kadang dibersihkan serta melakukan desinfeksi kandang secara rutin.

Sistem penggembalaan dan pemberian rumput
Saat menggembalakan sapi, sebaiknya hindari tempat-tempat penggembalaan yang becek dan padang rumput yang diberi pupuk kandang tanpa diketahui dengan jelas asal usulnya. Selain itu, ternak sapi sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah.

Memutus siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir. Artinya sapi tidak terus-menerus digembalakan di tempat yang sama. Pada padang penggembalaan juga dapat ditaburkan copper sulphate untuk mencegah perkembangan larva cacing hati.

Untuk sapi yang dipelihara secara intensif, pemberian rumput segar sangat tidak dianjurkan. Sebaiknya rumput dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi guna menghindari termakannya larva cacing yang menempel pada rumput.

Populasi inang antara
Mengingat beberapa spesies cacing membutuhkan inang antara seperti siput air tawar untuk kelangsungan hidup cacing hati, maka populasinya menjadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian dan penanganan kasus cacingan.

Populasi siput air tawar dapat dikurangi dengan cara memelihara itik atau bebek yang berperan sebagai predator alami inang antara tersebut. Selain itu, lingkungan harus dijaga supaya tidak terlalu lembab dan basah karena kondisi tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup siput air tawar.

Kualitas Pakan
Percaya atau tidak, bahwa kualitas pakan mempengaruhi tingkat kejadian cacingan pada ternak sapi. Kualitas pakan, baik rumput maupun konsentrat, yang baik dapat membantu meningkatkan daya tahan ternak sapi karena nutrisi yang diperlukan tercukupi.

Monitoring telur dan larva cacing
Sebagaimana kita ketahui bahwa penularan kasus cacingan sangat mudah terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya monitoring secara rutin (2-3 bulan sekali) terhadap telur dan larva cacing melalui uji feses.

Upaya pengendalian dan penanganan cacingan ini sebenarnya sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun, untuk menunjang hal ini diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Jika kedua modal utama tersebut hanya dimiliki oleh sebagian peternak, maka dapat kita ramalkan tingkat keberhasilan pun menjadi lebih kecil.

Dari seluruh bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit cacingan telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan kerugian cukup besar. Guna mengatasi kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian dan penanganan dengan memutus siklus hidup cacing yang sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak.

Kamis, 24 Mei 2018

Faktor Pemicu Cacingan pada Sapi

Kasus cacingan yang terjadi pada sapi disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi predisposisi (pemicu) penyakit tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya umur, musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor (inang antara) dan metode pemeliharaan.

Umur
Jika dilihat dari umur serangannya, kasus cacingan pada sapi dapat menyerang semua umur. Namun, berdasarkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan, pedet cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kasus cacingan. Pedet lebih rentan terserang penyakit cacingan karena memiliki daya tahan tubuh yang belum optimal.Musim atau kondisi lingkungan

Kasus cacingan terutama sering ditemukan pada saat musim hujan atau kondisi lingkungan lembab dan basah yang umumnya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Kondisi tersebut menjadi media yang cocok untuk perkembangan telur cacing menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh sapi.

Pada peternakan sapi skala kecil, umumnya sanitasi atau kebersihan kandang masih sangat minim, sehingga kandang lebih sering dalam kondisi yang kotor dan becek. Oleh karena itu, besar kemungkinannya sapi yang dipelihara dalam kandang seperti ini terserang cacingan.

Keberadaan vektor (inang antara)
Beberapa jenis cacing yang menyerang sapi membutuhkan inang antara seperti siput air tawar dalam siklus hidupnya. Pada kondisi yang lembab, hewan ini mampu hidup dan berkembang biak dengan sangat baik. 

Maka tak heran pada saat musim hujan siput air tawar ini sering kita jumpai karena populasinya yang bertambah banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus cacingan pada sapi, kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan resiko serangan parasit cacing pada ternak sapi.

Metode pemeliharaan
Jika ditinjau dari metode pemeliharaannya, sapi yang dipelihara dengan sistem tradisional (ekstensif) lebih beresiko terserang penyakit cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih modern (intensif). 

Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif, sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. 

Sedangkan pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing.

Rabu, 23 Mei 2018

Cacingan pada Sapi



Penyakit cacing sapi baik pada usaha peternakan skala besar maupun peternakan tradisional sangat merugikan. Hal ini dikarenakan penyakit cacing yang menginfeksi sapi dapat meyebabkan penurunan berat badan sapi secara drastis, nafsu makan berkurang, lemah, anemia hingga menyebabkan kematian.

Akan tetapi biasanya pada usaha peternakan komersial skala besar program pemberian obat cacing terencana dengan baik, sedangkan pada peternakan tradisional skala kecil atau skala pemeliharaan rumah tangga, pemberian obat cacing masih terabaikan. 

Cacingan dikenal dengan istilah helminthiasis yaitu penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan hati.

Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau cacing hati (Trematoda).

Cacing gilig (Nematoda)
Sesuai dengan namanya, cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil.

Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum, Agryostomum vryburgi, Bunostomum phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus. 

Namun, dari beberapa spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet (sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan istilah toxocariasis.
Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki ciri khas dinding telur yang tebal.

Kasus toxocariasis dimulai dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi. Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar bersama kolostrum.

Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang bisa ikut terbuang bersama feses sapi.

Dilihat dari siklus hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui kolostrum yang mengandung larva cacing.

Cacing pita (Cestoda)
Jenis cacing pita yang dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum ditemukan pada sapi terutama oleh genus Taenia, yaitu Taenia saginata. 

Serangan cacing pita ini tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot. 

Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan penyumbatan usus.

Panjang cacing T. saginata dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid, pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu telur. 

Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.

Cacing hati (Trematoda)
Kasus cacingan pada sapi akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan hewan kurban khususnya sapi.

Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia, yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica. 

Secara umum, cacing hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan istilah fasciolosis.

Siklus hidup cacing F. gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama feses. 

Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput muda Lymnaea rubiginosa.

Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. 

Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman. Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.

Gejala Klinik
Kasus cacingan pada ternak sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal serangan gejalanya sulit untuk diamati. 

Secara umum sapi yang terserang cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami anemia.

Berdasarkan kasus yang dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian. 

Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.

Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini.

Sementara pada kasus fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan patologi anatomi terutama pada organ hati. 

Pada kasus akut (kasus penyakit berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati, permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong empedu dan usus mengandung darah. 

Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati). Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali terdapat batu empedu.

Fasciolosis pada Sapi



Infeksi cacing hati pada sapi umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Cacing ini dapat pula menginfeksi domba, kambing, dan ruminansia yang lain. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh F. hepatica. Kedua jenis parasit ini berada dalam saluran empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Kerbau yang memiliki kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terinfeksi cacing ini.

Cacing muda bisa mematikan karena mengakibatkan kegagalan fungsi hati. Pada daerah-daerah tertentu fasciolosis merupakan faktor pendorong terjadinya infeksi hepatitis nekrotik (black disease) yaitu suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bentuk vegetatif Clostridium novyi tipe B karena kuman ini dapat memperbanyak diri dalam lesi anoksik yang ditimbulkan oleh cacing-cacing yang bermigrasi. Pada saat akhir migrasi cacing-cacing ini akan memasuki saluran empedu.

Penyebab
Penyebab fasciolosis ini adalah F. gigantica dan cacing F. hepatica. Bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini berbentuk gepeng, tidak beruas, berwarna kelabu berbentuk seperti daun yang membulat di bagian depan dan ekor. Panjang F. gigantica dapat mencapai 7,5 cm. Sedangkan F. hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bawah tubuhnya. 

F. gigantica juga berbeda dengan F. hepatica karena F. gigantica memiliki konus atau kerucut anterior yang lebih pendek, bahu (shoulder) yang kurang jelas, percabangan saekanya lebih banyak, dan saeka hampir mencapai sisi paralel tubuh.

Daur hidup
Daur hidup cacing Fasciola terjadi pada induk semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari.

Mirasidium kemudian berenang di air dengan menggunakan silia yang menutupi tubuhnya. Bila bertemu dengan siput genus Limnaea, mirasidium menembus jaringan siput dan membentuk sporosis. Pada stadium lebih lanjut, setiap sporosis akan terbentuk 5 sampai 8 redia yang selanjutnya membentuk serkaria dan kemudian diikuti oleh stadium akhir metaserkaria yang infektif.

Sapi terinfeksi penyakit ini karena memakan rumput yang mengandung metaserkaria. Setelah metaserkaria termakan oleh sapi akan menembus dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam setiap akhir dari larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk menjadi cacing dewasa.

Gejala klinis
Sapi yang terinfeksi cacing akan menunjukkan gejala gangguan pencernaan. Infeksi yang ringan tidak menunjukkan gejala. Apabila terjadi infeksi yang banyak oleh cacing hati, maka gejalanya dapat sangat akut dan cepat menyebabkan kematian. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi lemah dan depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit.

Bila keadaannya telah kritis sapi menjadi kurus dan lemah. Selaput lender mata menjadi pucat, terjadi busung terutama diantara sudut dagu dan bawah perut. Sapi semakin lemah dan kemudian terjadi kematian dalam waktu 1 sampai 3 bulan.

Pengobatan dan pengendalian
Pengobatan cacing dapat menggunakan heksakloretan dengan cara diminumkan atau menggunakan mebendasol 100 ml/50 kg berat badan.

Anthelmintik fasciolisidal seperti oxyclozanide, rafoxanide, albendazole, dan triclabendazole dapat digunakan untuk mengatasi cacing dewasa.
Untuk pengendalian cacing dapt dilakukan secara efektif dengan cara memberantas populasi siput sebagai induk semang antara dengan bahan kimia, dengan predator atau melakukan rotasi padang gembalaan.

Mengeringkan (drainase) merupakan pemecahan yang paling baik, khususnya apabila Lymnae trucantula terlibat di dalamnya, akan tetapi cara ini dianggap terlalu mahal. Pengendalian biologi terhadap Lymnea oleh spesies ikan tertentu, itik atau siput Marisa cornuarietis secara percobaan memang menjanjikan namun tak satupun berhasil diterapkan di lapangan secara luas.

Sabtu, 12 Mei 2018

Mengenal Rabies dan Sejarahnya di Indonesia


Rabies atau dikenal sebagai Lyssa, Tollwut, Hydrophobia, atau di Indonesia dikenal sebagai  Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut pada susunan saraf yang klinis ditandai  kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan merupakan masalah pada manusia karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia). 

Rabies merupakan salah satu penyakit tertua dan paling ditakuti manusia, pertama kali dikenal di Mesir (Zaman Pemerintahan Kerajaan Babilonia) dan Yunani Kuno sekitar tahun 2300 sebelum Masehi. Rabies selanjutnya ditemukan di sebagian besar dunia, termasuk Indonesia. Sedangkan Negara-negara yang bebas rabies adalah Australia, Selandia Baru, Inggris, Belanda, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), dan sejumlah pulau-pulau terpencil di Pasifik.

Tiap-tiap negara yang mengenal rabies mempunyai vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan Tengah yang beriklim tropis, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah (vampire) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor rabies. Di seluruh Negara di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar utama ialah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang meneruskan rabies terutama pada lembu yaitu anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan di Asia yang berperanan sebagai penyebar rabies adalah anjing dan kucing.

Penyebab
Rabies disebabkan oleh virus yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan golongan virus yang bentuknya menyerupai peluru, dengan panjang kira-kira 180 nm dan garis tengahnya 75 nm. Pada permukaannya terdapat bentuk-bentuk pancang (spikes) yang panjangnya 9 nm. 

Virus rabies peka terhadap panas. Suspensi virus sudah diinaktifkan pada suhu 50 selama 15 menit. Fenol, eter, chloroform, formaldehid dan basa ammonium kuartener dapat menginaktifkan virus rabies.

Gejala Klinis
Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antar individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya antara 14-90 hari tetapi bisa sampai 7 tahun. 95% masa inkubasi rabies 3-4 bulan, dan hanya 1% kasus dengan inkubasi 7 hari sampai 7 tahun. Karena lamanya masa inkubasi tersebut kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. 

Gejala klinis pada hewan dikenal dua bentuk yaitu bentuk beringas dan bentuk paralisis. Bentuk beringas hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan menggigit apa saja yang ditemuinya, respon berlebihan pada suara dan sinar, takut air (hydrophobia) dan keluar air liur berlebihan (hipersalivasi).

Bentuk paralisis ditandai dengan ensefalitis disertai kelemahan bagian belakang tubuh yang menyebabkan hewan berjalan terhuyung-huyung, keganasan berubah menjadi kelumpuhan, kejang-kejang, koma dan terhentinya pernafasan hingga berakhir dengan kematian.

Rabies di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena hampir selalu menyebabkan kematian (always almost fatal) setelah timbul gejala klinis dengan tingkat kematian sampai 100%. 

Rabies pada manusia biasanya melalui kontak dengan binatang anjing, kera, kucing, serigala, kelelawar  melalui gigitan atau kontak virus lewat air liur dengan luka. Infeksi lain yaitu melalui inhalasi dilaporkan pada orang yang mengunjungi gua-gua kelelewar tanpa adanya  gigitan. Virus masuk ke dalam ujung saraf yang ada pada otot di tempat gigitan dan memasuki ujung saraf tepi sampai mencapai sistem saraf pusat  yang biasanya pada sumsum tulang belakang selanjutnya menyerang otak.

Gejala awal rabies pada manusia berupa demam disertai rasa kesemutan pada tempat  gigitan, malaise (rasa tidak enak badan), mual, dan rasa nyeri di tenggorokan. Selanjutnya disusul dengan gejala cemas, gelisah dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris (stimulus-sensitive myoclonus). Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala-gejala hipersalivasi, hiperlakrimasi, pupil dilatasi dan paralisis, koma kemudian berakhir dengan kematian.

Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884), anjing oleh Penning (1889), dan pada manusia oleh E.V. de Haan (1894) yang ketiganya ditemukan di Jawa Barat. Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953),  Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),  Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon dan Pulau seram  (2003). 

Dengan tertularnya Bali sebagai daerah wabah baru sejak 1 Desember 2008 melalui Peraturan menteri Pertanian No.1637/2008 maka daerah bebas sampai saat ini adalah NTB, NTT kecuali Pulau Flores, Maluku, Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan Barat, Pulau Madura dan sekitarnya, Pulau-pulau di sekitar Pulau Sumetera, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. 

Rabies pada manusia telah menimbulkan banyak korban. Dari tahun 1977 hingga 1978 sebelas provinsi mencatat 142 kasus rabies pada manusia. Selama periode 1979-1983 di Indonesia telah dilaporkan 298 kasus rabies dengan rata-rata 60 kasus per tahun. Penyebaran daerah rabies berjalan terus sampai sekarang. 

Pada dekade Sembilan puluhan kejadian di Pulau Sumetera per tahun tidak kurang dari 1000 kasus hewan ditemukan menderita rabies. Sedangkan kasus rabies yang dilaporkan di Pulau Flores selama tahun 1997-2005 dari 11.786 jumlah gigitan hewan penular rabies (HPR), sebanyak 149 orang dinyatakan meninggal (1,35%). Insiden rata-rata per tahun kasus rabies pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia yang telah digigit anjing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat mengancam kepariwisataan. 

Pencegahan dan Pengendalian
Virus rabies tidak stabil di lingkungan dan biasanya hanya menimbulkan resiko bila ditularkan melalui gigitan atau cakaran hewan penderita rabies. Karena di Indonesia umumnya HPR adalah anjing, maka menurut Ressang (1983), bila rabies dapat diberantas pada anjing maka dengan sendirinya penyakit ini tidak akan menyerang lebih luas. Dengan kata lain vektor utama rabies harus dapat dikendalikan untuk dapat mengurangi resiko penularan lebih lanjut dari rabies tersebut.

Lebih lanjut menurutnya pemberantasan rabies di Indonesia hendaknya berdasarkan: 1). penyadaran kepada masyarakat tentang arti rabies dan mengikutsertakannya dalam kampanye pemberantasan rabies. 2). Eliminasi anjing liar sebagai vektor utama yang menyebarkan virus rabies. 3). Vaksinasi, sebagai tindakan preventif baik pada hewan maupun manusia.

Sedangkan Tri Satya Naipospos (mantan Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan) menyarankan bahwa pengendalian terhadap rabies dengan metode LAS (Local Area Spesific Problem Solving) atau pemecahan masalah melalui pendekatan spesifik wilayah karena permasalahan spesifik masing-masing daerah berbeda. Secara umum kegiatan pengendalian dilakukan dengan vaksinasi semua populasi HPR, observasi terhadap hewan tersangka rabies, eliminasi HPR liar, pemberian Vaksin Anti Rabies bagi orang beresiko tertular, dan yang paling penting terutama pengawasan lalu lintas antar kabupaten/kota dengan pemanfaatan pos (check point) dan di pintu-pintu masuk (entry point) oleh petugas karantina untuk mencegah masuknya rabies ke daerah bebas atau mencegah penularan lebih luas.

Untuk perawatan kepada orang sesudah digigit oleh anjing atau dicurigai menderita rabies yang terpenting adalah  perawatan pada luka/tempat gigitan. Pertama luka dibiarkan mengeluarkan banyak darah, kemudian luka dibersihkan dengan sabun dan selanjutnya luka didesinfeksi (bisa dengan alkohol 40-70%, basa ammonium kuartener, atau yodium tincture). Virus dalam luka dapat dinetralisir dengan suntikan infiltrasi jaringan di sekitar luka dengan serum imun atau dengan menebarkan bedak desinfektan dalam luka.