Rabies atau dikenal
sebagai Lyssa, Tollwut, Hydrophobia, atau di Indonesia dikenal sebagai Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut
pada susunan saraf yang klinis ditandai
kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini
dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan merupakan masalah pada manusia
karena bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia).
Rabies merupakan salah
satu penyakit tertua dan paling ditakuti manusia, pertama kali dikenal di Mesir
(Zaman Pemerintahan Kerajaan Babilonia) dan Yunani Kuno sekitar tahun 2300
sebelum Masehi. Rabies selanjutnya ditemukan di sebagian besar dunia, termasuk
Indonesia. Sedangkan Negara-negara yang bebas rabies adalah Australia, Selandia
Baru, Inggris, Belanda, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), dan sejumlah
pulau-pulau terpencil di Pasifik.
Tiap-tiap negara yang
mengenal rabies mempunyai vektor-vektor utama sendiri. Di Amerika Selatan dan
Tengah yang beriklim tropis, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah
(vampire) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor
rabies. Di seluruh Negara di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar
utama ialah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang meneruskan
rabies terutama pada lembu yaitu anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan
di Asia yang berperanan sebagai penyebar rabies adalah anjing dan kucing.
Penyebab
Rabies disebabkan oleh
virus yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Rhabdovirus
merupakan golongan virus yang bentuknya menyerupai peluru, dengan panjang
kira-kira 180 nm dan garis tengahnya 75 nm. Pada permukaannya terdapat
bentuk-bentuk pancang (spikes) yang panjangnya 9 nm.
Virus rabies peka terhadap
panas. Suspensi virus sudah diinaktifkan pada suhu 50 selama 15 menit. Fenol,
eter, chloroform, formaldehid dan basa ammonium kuartener dapat menginaktifkan
virus rabies.
Gejala Klinis
Gejala klinis rabies mirip
pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antar individu. Setelah
terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasi biasanya antara 14-90
hari tetapi bisa sampai 7 tahun. 95% masa inkubasi rabies 3-4 bulan, dan hanya
1% kasus dengan inkubasi 7 hari sampai 7 tahun. Karena lamanya masa inkubasi
tersebut kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan.
Gejala klinis pada hewan
dikenal dua bentuk yaitu bentuk beringas dan bentuk paralisis. Bentuk beringas
hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan menggigit apa saja yang ditemuinya,
respon berlebihan pada suara dan sinar, takut air (hydrophobia) dan keluar air
liur berlebihan (hipersalivasi).
Bentuk paralisis ditandai
dengan ensefalitis disertai kelemahan bagian belakang tubuh yang menyebabkan
hewan berjalan terhuyung-huyung, keganasan berubah menjadi kelumpuhan,
kejang-kejang, koma dan terhentinya pernafasan hingga berakhir dengan kematian.
Rabies di Indonesia
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena hampir selalu
menyebabkan kematian (always almost fatal) setelah timbul gejala klinis dengan
tingkat kematian sampai 100%.
Rabies pada manusia
biasanya melalui kontak dengan binatang anjing, kera, kucing, serigala,
kelelawar melalui gigitan atau kontak
virus lewat air liur dengan luka. Infeksi lain yaitu melalui inhalasi dilaporkan
pada orang yang mengunjungi gua-gua kelelewar tanpa adanya gigitan. Virus masuk ke dalam ujung saraf
yang ada pada otot di tempat gigitan dan memasuki ujung saraf tepi sampai
mencapai sistem saraf pusat yang
biasanya pada sumsum tulang belakang selanjutnya menyerang otak.
Gejala awal rabies pada
manusia berupa demam disertai rasa kesemutan pada tempat gigitan, malaise (rasa tidak enak badan),
mual, dan rasa nyeri di tenggorokan. Selanjutnya disusul dengan gejala cemas,
gelisah dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensoris (stimulus-sensitive
myoclonus). Tonus otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan
gejala-gejala hipersalivasi, hiperlakrimasi, pupil dilatasi dan paralisis, koma
kemudian berakhir dengan kematian.
Sejarah Rabies di Indonesia
Rabies di Indonesia
pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884), anjing oleh Penning
(1889), dan pada manusia oleh E.V. de Haan (1894) yang ketiganya ditemukan di
Jawa Barat. Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953),
Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958),
Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan
Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan
Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon
dan Pulau seram (2003).
Dengan tertularnya Bali
sebagai daerah wabah baru sejak 1 Desember 2008 melalui Peraturan menteri
Pertanian No.1637/2008 maka daerah bebas sampai saat ini adalah NTB, NTT kecuali
Pulau Flores, Maluku, Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan Barat, Pulau
Madura dan sekitarnya, Pulau-pulau di sekitar Pulau Sumetera, Jawa Timur,
Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Rabies pada manusia telah
menimbulkan banyak korban. Dari tahun 1977 hingga 1978 sebelas provinsi
mencatat 142 kasus rabies pada manusia. Selama periode 1979-1983 di Indonesia
telah dilaporkan 298 kasus rabies dengan rata-rata 60 kasus per tahun.
Penyebaran daerah rabies berjalan terus sampai sekarang.
Pada dekade Sembilan puluhan
kejadian di Pulau Sumetera per tahun tidak kurang dari 1000 kasus hewan
ditemukan menderita rabies. Sedangkan kasus rabies yang dilaporkan di Pulau
Flores selama tahun 1997-2005 dari 11.786 jumlah gigitan hewan penular rabies
(HPR), sebanyak 149 orang dinyatakan meninggal (1,35%). Insiden rata-rata per
tahun kasus rabies pada manusia memang kecil dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya namun efek psikologisnya sangat besar terutama pada manusia
yang telah digigit anjing dan secara ekonomis sangat merugikan karena dapat
mengancam kepariwisataan.
Pencegahan dan
Pengendalian
Virus rabies tidak stabil
di lingkungan dan biasanya hanya menimbulkan resiko bila ditularkan melalui
gigitan atau cakaran hewan penderita rabies. Karena di Indonesia umumnya HPR
adalah anjing, maka menurut Ressang (1983), bila rabies dapat diberantas pada
anjing maka dengan sendirinya penyakit ini tidak akan menyerang lebih luas.
Dengan kata lain vektor utama rabies harus dapat dikendalikan untuk dapat
mengurangi resiko penularan lebih lanjut dari rabies tersebut.
Lebih lanjut menurutnya
pemberantasan rabies di Indonesia hendaknya berdasarkan: 1). penyadaran kepada
masyarakat tentang arti rabies dan mengikutsertakannya dalam kampanye
pemberantasan rabies. 2). Eliminasi anjing liar sebagai vektor utama yang
menyebarkan virus rabies. 3). Vaksinasi, sebagai tindakan preventif baik pada
hewan maupun manusia.
Sedangkan Tri Satya
Naipospos (mantan Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan)
menyarankan bahwa pengendalian terhadap rabies dengan metode LAS (Local Area
Spesific Problem Solving) atau pemecahan masalah melalui pendekatan spesifik
wilayah karena permasalahan spesifik masing-masing daerah berbeda. Secara umum
kegiatan pengendalian dilakukan dengan vaksinasi semua populasi HPR, observasi
terhadap hewan tersangka rabies, eliminasi HPR liar, pemberian Vaksin Anti
Rabies bagi orang beresiko tertular, dan yang paling penting terutama
pengawasan lalu lintas antar kabupaten/kota dengan pemanfaatan pos (check
point) dan di pintu-pintu masuk (entry point) oleh petugas karantina untuk
mencegah masuknya rabies ke daerah bebas atau mencegah penularan lebih luas.
Untuk perawatan kepada
orang sesudah digigit oleh anjing atau dicurigai menderita rabies yang
terpenting adalah perawatan pada
luka/tempat gigitan. Pertama luka dibiarkan mengeluarkan banyak darah, kemudian
luka dibersihkan dengan sabun dan selanjutnya luka didesinfeksi (bisa dengan
alkohol 40-70%, basa ammonium kuartener, atau yodium tincture). Virus dalam
luka dapat dinetralisir dengan suntikan infiltrasi jaringan di sekitar luka
dengan serum imun atau dengan menebarkan bedak desinfektan dalam luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar