Penyakit cacing sapi baik
pada usaha peternakan skala besar maupun peternakan tradisional sangat
merugikan. Hal ini dikarenakan penyakit cacing yang menginfeksi sapi dapat
meyebabkan penurunan berat badan sapi secara drastis, nafsu makan berkurang,
lemah, anemia hingga menyebabkan kematian.
Akan tetapi biasanya pada
usaha peternakan komersial skala besar program pemberian obat cacing terencana
dengan baik, sedangkan pada peternakan tradisional skala kecil atau skala
pemeliharaan rumah tangga, pemberian obat cacing masih terabaikan.
Cacingan dikenal dengan
istilah helminthiasis yaitu penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi
cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun
pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan
pada saluran pencernaan dan hati.
Berdasarkan bentuknya,
jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan
yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau
cacing hati (Trematoda).
Cacing gilig (Nematoda)
Sesuai dengan namanya,
cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua
ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang
sangat kecil.
Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya
Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum, Agryostomum vryburgi, Bunostomum
phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia
ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus.
Namun, dari beberapa
spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet
(sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan
istilah toxocariasis.
Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini
habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan
spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan
betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki
ciri khas dinding telur yang tebal.
Kasus toxocariasis dimulai
dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi.
Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian
dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta
dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar
bersama kolostrum.
Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber
penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus
akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang
bisa ikut terbuang bersama feses sapi.
Dilihat dari siklus
hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui
pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui
kolostrum yang mengandung larva cacing.
Cacing pita (Cestoda)
Jenis cacing pita yang
dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus
granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup
sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum
ditemukan pada sapi terutama oleh genus Taenia, yaitu Taenia saginata.
Serangan cacing pita ini
tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur
cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva
cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus
pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot.
Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena
larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang
dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita
dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan
penyumbatan usus.
Panjang cacing T. saginata
dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut
proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid,
pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu
telur.
Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor
cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk
berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.
Cacing hati (Trematoda)
Kasus cacingan pada sapi
akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi
dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan
Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan
hewan kurban khususnya sapi.
Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia,
yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling
sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica.
Secara umum, cacing
hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica
tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing
hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan
istilah fasciolosis.
Siklus hidup cacing F.
gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu
mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus
bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama
feses.
Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk
berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput
muda Lymnaea rubiginosa.
Di dalam tubuh siput,
mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya
serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah
menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang
berbentuk kista.
Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman.
Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media
penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.
Gejala Klinik
Kasus cacingan pada ternak
sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal
serangan gejalanya sulit untuk diamati.
Secara umum sapi yang terserang
cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan
konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami
anemia.
Berdasarkan kasus yang
dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan
gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa
kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian.
Pedet yang bertahan
hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi
yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah
terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.
Sapi dewasa yang terserang
toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi
cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu
karena mengandung larva cacing ini.
Sementara pada kasus
fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa
konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi
menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan
produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan
patologi anatomi terutama pada organ hati.
Pada kasus akut (kasus penyakit
berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati,
permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong
empedu dan usus mengandung darah.
Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi
penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati).
Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali
terdapat batu empedu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar