Jumat, 08 Juni 2018

Mengenal Penyakit Sampar Sapi



Rinderpest adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang berakibat fatal pada sapi, kerbau, dan hewan berkuku belah yang lain. Serangan oleh virus penyakit ini ditandai dengan stomatitis erosive, gastroenteritis, dehidrasi, dan kematian.


Penyakit Rinderpest telah menyebabkan epizootik yang sangat luas dan tersebar di seluruh Afrika, sebagian Eropa dan Asia yang banyak mengakibatkan kematian ternak.

Penyebab
Rinderpest disebabkan oleh virus genus Morbilivirus dari keluarga Paramixoviridae dari virus RNA. Virus ini rentan terhadap panas dan cahaya.

Penularan
Penyakit ini ditularkan melalui tinja, hembusan pernafasan, dan cairan mulut dari hewan yang terinfeksi. Partikel air di udara yang terinfeksi akan terirup dan virus akan menembus melalui selaput lendir alat pernafasan bagian atas.

Gejala
Masa tunas penyakit ini bervariasi antara 1-15 hari yang menimbulkan reaksi klinis per akut, akut, sub akut atau tidak tampak.

Dalam keadaan per akut, gejalanya terjadinya secara mendadak dimana hewan menderita demam tinggi, selaput lendir bendung, dan mengalami gangguan pernafasan. Sapi yang terserang akan mati dalam waktu 1 sampai 3 hari kemudian.

Sedangkan untuk serangan yang akut, serangan rinderpest terdiri dari tahapan-tahapan  yaitu, tahap demam, tahap gejala klinis, tahap erosif  dan tahap diare.

Pada tahap demam biasanya tanpa diikuti gejala yang lain, kecuali pada sapi laktasi produksi susu akan menurun. Tahap gejala klinis ditandai dengan penampakan gejala dalam waktu 24 sampai 48 jam berupa gelisah dan depresi. Pernafasan menjadi dangkal dan cepat, keluar cairan encer dari hidung yang volumenya selalu meningkat, nafsu makan berkurang, ruminasi terganggu dan timbul sembelit dan selaput lendir mangalami bendung darah.

Tahap erosif terjadi 2 sampai 5 hari kemudian. Terjadi hipersalivasi, cairan mukopurulen keluar dari hidung yang diikuti keluarnya cairan dari mata. Hewan Nampak haus, tetapi nafsu makan hilang dan tinja menjadi lembek. Hidung dan mulut berbercak kemerahan dan berkembang menjadi ulser yang dangkal. Langit-langit mulut, gusi, dan dasar gigi mengalami erosi.

Pada tahap diare muncul setelah demam menjadi  berkurang. Tinja menjadi lembek, berwarna hitam – coklat dan mengandung lendir berbau busuk. Pernafasan menjadi terengah-engah. Pada kasus yang fatal, diare semakin parah dan menyebabkan dehidrasi yang cepat. Kematian terjadi 6 sampai 12 hari setelah gejala yang pertama.

Pengendalian
Negara yang resiko penularannya rendah harus mempertahankan sebagai negara bebas penyakit dengan menerapkan karantina yang ketat dan tidak mengimpor ternak dari negara endemik rinderpest.

Negara yang mempunyai resiko penularan tinggi karena berbatasan langsung  dengan Negara endemic, perlu membentuk sabuk kebal dengan daerah tertular sekurang-kurangnya 20 kilometer sepanjang daerah perbatasan.

Daerah yang tercemar dan mengalami banyak kasus penyakit, maka strategis awal adalah menurunkan jumlah kasus.vaksinasi dilakukan setiap tahun kecuali pedet, sampai dengan pemantauan serologis menunjukkan kekebalan kelompok melampaui 90 %. Pada tahun berikutnya diikuti dengan vaksinasi pedet dan revaksinasi. Vaksinasi dihentikan setelah selama lima tahun tidak terjadi wabah. Pengobatan untuk penyakit ini tidak efektif.

Kejadian di Indonesia
Indonesia telah bebas dari penyakit rinderpest sejak puluhan tahun yang lalu. Penyakit rinderpest telah berhasil diberantas pada awal abad XX. Walaupun demikian penyakit ini harus tetap diwaspadai mengingat meningkatnya pembangunan peternakan yang melibatkan importasi ternak dan produk hewan termasuk daging dari berbagai negara.

Kamis, 07 Juni 2018

Dermatofilosis pada Sapi

Dermatofilosis atau Kutaneus Streptotrikosis adalah radang kulit (dermatitis) yang ditandai dengan pembentukan kudis yang tebal. Penyakit ini banyak dijumpai di negara-negara tropis, terutama di saat musim hujan dan merupakan penyakit yang bersifat zoonosis.

Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Dermatophilus congolensis dari ordo Actinomycetales. Bakteri ini juga menjadi penyebab Lumpy wool pada domba. Jasad penyakit ini bersifat gram negatif dan membentuk jonjot miselium yang bercabang. Bila jasad penyakit ini terdapat di dalam material yang kering, maka dapat tahan hidup sampai bertahun-tahun dengan mengeluarkan zoospora. Jasad penyakit ini tidak dapat hidup di jaringan kulit hewan secara normal.

Penularan
Penularan penyakit terjadi dari hewan yang satu ke yang lain melalui luka pada kulit, luka gigitan caplak atau lalat. Kerentanan terhadap penyakit ini dapat menjadi parah oleh adanya penyakit yang menekan kekebalan tubuh atau karena dalam keadaan bunting.

Di daerah tropik penyebaran penyakit sering dikaitkan dengan infeksi caplak Amblyoma varigatum.

Gejala
Gejala klinis yang tampak adalah adanya radang kulit bernanah dengan derajat peradangan yang bervariasi tergantung pada bagian tubuh atau kulit yang terserang.

Penyakit ini pernah dilaporkan dapat menyebabkan timbulnya jejas pada mulut di bagian palatum durum, gusi atas atau bawah dan pada lidah.

Semua bagian kulit dapat terserang terutama bagian belakang, sisi perut, kaki bagian dalam, bagian muka dan telinga. Pada mulanya lesi akan berbentuk bintil kecil-kecil bernanah dan membentuk semacam kudis.

Bulu rambut menjadi basah oleh getah radang dan kusam, serta pengelupasan kulit. Kudis dapat meluas ke seluruh tubuh. Dalam kondisi yang parah, kondisi hewan menurun, lemah dan tidak dapat merumput sehingga terjadi kematian karena kekurangan pakan atau kelaparan.

Pengendalian dan pengobatan
Pengobatan yang dilakukan berupa pengobatan luar disertai pembersihan kudis dan getah radang di permukaan kulit dan diolesi dengan antibiotik. Penyuntikan oksitetrasiklin atau penisilin dan streptomisin selama tiga hari berturut-turut biasanya efektif untuk mempercepat kesembuhan.

Pencelupan () secara teratur dapat mengurangi kemungkinan terjangkitnya penyakit karena dapat melindungi dari gigitan caplak dan lalat yang merupakan faktor predisposisi.



dip

Infeksi Cacing Hati pada Sapi

Infeksi cacing hati pada sapi umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Cacing ini dapat pula menginfeksi domba, kambing, dan ruminansia yang lain. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh F. hepatica. Kedua jenis parasit ini berada dalam saluran empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Kerbau yang memiliki kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terinfeksi cacing ini.

Cacing muda bisa mematikan karena mengakibatkan kegagalan fungsi hati. Pada daerah-daerah tertentu fasciolosis merupakan faktor pendorong terjadinya infeksi hepatitis nekrotik (black disease) yaitu suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bentuk vegetatif Clostridium novyi tipe B karena kuman ini dapat memperbanyak diri dalam lesi anoksik yang ditimbulkan oleh cacing-cacing yang bermigrasi. Pada saat akhir migrasi cacing-cacing ini akan memasuki saluran empedu.

Penyebab
Penyebab fasciolosis ini adalah F. gigantica dan cacing F. hepatica. Bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini berbentuk gepeng, tidak beruas, berwarna kelabu berbentuk seperti daun yang membulat di bagian depan dan ekor. Panjang F. gigantica dapat mencapai 7,5 cm. Sedangkan F. hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bawah tubuhnya.

F. gigantica juga berbeda dengan F. hepatica karena F. gigantica memiliki konus atau kerucut anterior yang lebih pendek, bahu (shoulder) yang kurang jelas, percabangan saekanya lebih banyak, dan saeka hampir mencapai sisi paralel tubuh.

Daur hidup
Daur hidup cacing Fasciola terjadi pada induk semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari.

Mirasidium kemudian berenang di air dengan menggunakan silia yang menutupi tubuhnya. Bila bertemu dengan siput genus Limnaea, mirasidium menembus jaringan siput dan membentuk sporosis. Pada stadium lebih lanjut, setiap sporosis akan terbentuk 5 sampai 8 redia yang selanjutnya membentuk serkaria dan kemudian diikuti oleh stadium akhir metaserkaria yang infektif.

Sapi terinfeksi penyakit ini karena memakan rumput yang mengandung metaserkaria. Setelah metaserkaria termakan oleh sapi akan menembus dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam setiap akhir dari larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk menjadi cacing dewasa.

Gejala klinis
Sapi yang terinfeksi cacing akan menunjukkan gejala gangguan pencernaan. Infeksi yang ringan tidak menunjukkan gejala. Apabila terjadi infeksi yang banyak oleh cacing hati, maka gejalanya dapat sangat akut dan cepat menyebabkan kematian. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi lemah dan depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit.

Bila keadaannya telah kritis sapi menjadi kurus dan lemah. Selaput lendir mata menjadi pucat, terjadi busung terutama diantara sudut dagu dan bawah perut. Sapi semakin lemah dan kemudian terjadi kematian dalam waktu 1 sampai 3 bulan.

Pengobatan dan pengendalian
Pengobatan cacing dapat menggunakan heksakloretan dengan cara diminumkan atau menggunakan mebendasol 100 ml/50 kg berat badan.

Anthelmintik fasciolisidal seperti oxyclozanide, rafoxanide, albendazole, dan triclabendazole dapat digunakan untuk mengatasi cacing dewasa.

Untuk pengendalian cacing dapt dilakukan secara efektif dengan cara memberantas populasi siput sebagai induk semang antara dengan bahan kimia, dengan predator atau melakukan rotasi padang gembalaan.

Mengeringkan (drainase) merupakan pemecahan yang paling baik, khususnya apabila Lymnae trucantula terlibat di dalamnya, akan tetapi cara ini dianggap terlalu mahal. Pengendalian biologi terhadap Lymnea oleh spesies ikan tertentu, itik atau siput secara percobaan memang menjanjikan namun tak satupun berhasil diterapkan di lapangan secara luas.
Marisa cornuarietis

Rabu, 06 Juni 2018

Hepatitis Menular pada Anjing

Hepatitis menular pada anjing telah tersebar luas di dunia, dengan gejala beragam dari yang ringan berupa demam dan pembendungan membrane mukosa sampai bentuk parah, depresi, leukopenia yang jelas dan bertambah lamanya waktu beku darah.

Penyebab
Infectious Canine Hepatitis disebabkan oleh virus Canine Adeno Virus-1 (CAV-1). Virus ini termasuk virus DNA, tidak beramplop dan secara antigenic berkerabat dengan CAV-2 penyebab tracheobronchitis menular pada anjing.

Gejala klinis
Hepatitis menular gejalanya beragam dari demam ringan sampai mematikan. Masa inkubasi 4-9 hari. Gejala berupa demam diatas 40 °C dan berlangsung 1-6 hari, biasanya bersifat bifasik, terjadi takikardia dan leukopenia.

Gejala lainnya berupa apatis, anoreksia, kehausan, konjungtivitis, leleran serous dari hidung dan mata, kadang-kadang disertai nyeri lambung, muntah juga dapat terjadi serta ditemukan oedema subkutan daerah kepala, leher dan dada.

Koagulasi intravaskuler (dissiminated) umum terjadi dan merupakan suatu yang penting dalam patogenesa penyakit. Gejala respirasi biasanya tidak tampak pada anjing yang menderita ICH.

Pada anjing yang pulih, biasanya makan dengan baik namun pertumbuhan badan berjalan lambat. Tujuh sampai sepuluh hari setelah gejala akut mulai hilang, sekitar 25% anjing yang pulih akan mengalami kekeruhan (opasitas) kornea dan bisa hilang secara spontan.

Diagnosa
Diagnosa ditetapkan berdasarkan kejadian perdarahan mendadak dan bertambah lamanya waktu beku darah. Diagnosa dipastikan dengan isolasi virus, immonoflourescens atau ditemukan badan-badan inklusi yang khas di dalam sel-sel hati.

Pencegahan dan pengobatan
Transfusi darah mungkin diperlukan pada anjing yang menderita parah, disamping tambahan dekstrosa 5% dalam larutan garam isotonik hendaknya diberikan secara intravena. Pada anjiing yang waktu beku drahnya lambat, pemberian cairan subkutan sangat berbahaya.

Antibiotik spektrum luas dapat diberikan seperti tetrasiklin selama perkembangan gigi (fetus menjelang kelahiran, baru lahir, tahap awal kelahiran) bisa menyebabkan perubahan warna gigi dan sebaiknya obat ini tidak diberikan pada anjing sebelum gigi tetapnya tumbuh.

Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan vaksinasi dan pemberian vaksin sering dikombinasi dengan vaksin lainnya. Imunisasi terhadap ICH disarankan dilakukan pada saat melakukan imunisasi terhadap distemper anjing.


Kurap (ringworm) pada Sapi

Kurap atau ringworm adalah infeksi cendawan pada kulit, rambut dan kuku oleh satu dari berbagai jenis kapang yang secara kolektif disebut dermatofit. Hampir semua ternak rentan terhadap penyakit ini. Manusia pun dapat tertular oleh kapang bila kontak langsung dengan sapi penderita.

Penyebab
Ringworm pada sapi disebabkan oleh Trichophyton verucosum yang menyerang rambut, kulit, dan kuku. Artrospora teratur sejajar berderet-deret di dalam rambut (endotriks) atau di luar (eksotriks). Sewaktu tumbuh di dalam kulit dan bulu, trychopiton membentuk miselia yang bercabang dan bersekat. Cendawan ini cenderung hidup menjauhi tempat peradangan untuk mencapai jaringan normal dan membentuk cincin.

Penularan
Kurap menular melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melelui peralatan, tali, sikat tubuh, tonggak yang dipakai untuk menggaruk, dan pakan ternak. Udara yang lembab dan sanitasi yang jelek merupakan predisposisi penyakit ini.

Gejala Kulit ternak yang terserang kurap menjadi belang-belang berwarna putih dan kasar karena adanya peradangan sebagai reaksi terhadap pertumbuhan kapang. Bentuk peradangan adalah bulat yang muncul di permukaan kulit dan umumnya terletak di bagian kepala, leher dan perut.


Jejas pada kulit menimbulkan rangsangan terus-menerus yang kemudian akan tertutup oleh kerak berwarna abu-abu menebal. Apabila jejas tersebut tidak diobati, maka akan menimbulkan jejas yang semakin meluas.

Pengendalian
Sapi yang menderita kurap harus segera dipisahkan dari sapi yang sehat. Alat kandang yang dipakai oleh sapi penderita kurap harus disucihamakan. Pengobatan dapat menggunakan Na-Kaprilat 20 % atau yodium yang dioleskan atau disemprotkan. Pengobatan yang efektif adalah dengan penyuntikan antijamur.

Selasa, 05 Juni 2018

Penyakit Radang Ambing (Mastitis) pada Sapi



Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, sub akut atau menahun dan terjadi pada semua mamalia. Pada sapi penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman atau mycoplasma.

Penyebab
Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit ini, antara lain Streptococcus agalactiae, streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas aeruginosa. Dalam keadaan tertentu dijumpai pula penyebab Mycoplasma sp dan Nocardia asteroides.

Penularan
Kuman penyebab mastitis banyak terdapat di alam. Faktor predisposisi yang berperan dalam penyebaran adalah higiene pemerahan dan kebersihan lingkungan yang jelek,kesalahan mesin perah bagi pemerahan menggunakan mesin, kesalahan manajemen pemerahan atau adanya luka pada puting.

Gejala
Sapi yang menderita mastitis dapat diketahui dengan adanya pembengkakan ambing dan pu

Serangan penyakit yang berat menyebabkan air susu dapat berubah warnanya menjadi merah karena adanya darah atau bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis subklinis yang mengakibatkan penurunan produksi susu.

Pengendalian dan pengobatan
Pengendalian dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen dan higiene pemerahan yang tidak memenuhi standar.

Dalam periode tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya mastitis sub klinis dengan melakukan uji CMT (California Mastitis Test). Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotic sesuai dengan kuman yang menginfeksi dan disarankan pula untuk melakukan uji sensitivitas kuman.

Kejadian di Indonesia
Mastitis banyak ditemukan di banyak tempat terutama pada sapi perah yang dikelola dengan tidak memperhatikan kesehatan lingkungan dan manajemen pemerahan yang baik.



ting yang terjadi pada satu kuartir atau lebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah dan diikuti oleh penurunan produksi yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat.

Infeksi Virus Herpes pada Anjing


Dalam memelihara anjing, seringkali induk anjing yang beranak tetapi anak yang lahir mati. Disitu kita merasa sedih karena sudah merawat induknya ketika bunting dengan memberikan makanan yang baik dan sehat, tetap memperhatikan kesehatan induk anjing termasuk kesehatan kandangnya. Nah apabila terjadi hal demikian kira-kira apa ya penyebabnya ?, kenapa anak anjing yang baru lahir tiba-tiba mati ?. 



Kejadian seperti itu bisa disebabkan oleh penyakit atau infeksi pada anak anjing yang baru lahir tersebut yang disebabkan oleh virus yaitu virus herpes. Seperti apa penyakit tersebut ?, yuuk ikuti penjelansannya di bawah ini.


Salah satu Penyakit yang menyebabkan kematian yang tinggi pada anak anjing yang baru lahir adalah infeksi yang disebabkan oleh virus herpes. Penyakit ini dikenal juga dengan nama Neonatal canine herpesvirus infection dan Fading puppy syndrome


Pada anjing dewasa virus menyebabkan infeksi laten. Agen penyebab untuk pertama kali diisolasi di USA dalam tahun 1965 dari anak anjing baru lahir dan mati. Sesudah itu virus ditemukan di banyak negara eropa.


Penyebab
Hingga sekarang hanya dikenal satu virus herpes pada anjing yang dinamakan canine herpesvirus (CHV) yang termasuk herpesvirus golongan A. CHV bereplikasi dalam biakan sel anjing, menimbulkan CPE dan membentuk badan inklusi intranuklear.


Gejala klinis
Pada anak anjing baru lahir infeksi berlangsung dengan generalisasi dan umumnya berakhir dengan kematian. Sedangkan anak anjing yang lebih tua dan dewasa infeksi umumnya berlokalisasi pada jalan pernafasan bagian depan dan pada alat kelamin.


Infeksi pada anak anjing baru lahir terlihat diare dengan feses berwarna kuning-hijau, dan terjadi 7-10 hari sesudah lahir. Anjing juga nampak lesu, muntah-muntah, tidak mau menyusu dan meraung-raung. 


Perut sering nyeri bila dipalpasi dan anak anjing mati dengan tanda-tanda sesak nafas. Sekali-kali timbul, sekonyong-konyong kematian tanpa didahului gejala-gejala yang dilukiskan. Umumnya dalam 14 hari semua anak anjing yang seumur mati. Anak anjing yang lebih tua infeksi bermanifestasi sebagai gangguan jalan respirasi bagian muka, yakni batuk-batuk dan leleran hidung.


Pada anjing betina virus menimbulkan jejas-jejas vesikuler pada traktus kelamin yang dapat menyebabkan abortus sebelum waktunya. Juga infeksi berulang pada selaput lendir vulva dan vagina dapat ditimbulkannya.


Diagnosa
Diagnosa dibuat berdasarkan anamnesa dan gambaran seksi. Septikemi bakteri dan hepatitis contagiosa canis dapat menyebabkan kematian dini pada anak anjing muda.

Senin, 04 Juni 2018

Mengenal Penyakit Coccidia pada Anjing




Penyakit Coccidia (coccidiosis) atau berak darah merupakan penyakit radang usus halus dan sering menyerang anak anjing. Anak anjing yang terserang adalah anak anjing umur 1 sampai 8 bulan, sedangkan anjing yang lebih tua atau dewasa lebih tahan terhadap penyakit ini. Gejala menciri dari penyakit ini adalah menurunnya nafsu makan, kotoran encer berlendir sampai berlendir.

Penyakit berak darah biasanya bersifat kronis, timbulnya penyakit dan berat tidaknya gejala yang ditimbulkannya tergantung banyak sedikitnya oocyt isospora yang tertelan. Anak anjing peka terhadap penyakit ini, pada anjing dewasa tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas, tetapi akan menjadi sumber penularan penyakit permanen (carier).

Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah parasit dari golongan Isospora, yaitu Isospora canis dan Isospora bigemina. Parasit ini hidup dan berkembang biak pada usus halus.

Cara penularan
Penularan penyakit coccidiosis melalui tertelannya oocyt infektif yang mencemari makanan, minuman, kandang, alat lainnya yang tidak sengaja terjilat anak anjing. Oocyt akan masuk dalam perut dan akan menetap pada usus halus dan menyerang selaput lendir usus halus. Pada selaput usus oocyt akan tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak, kemudian akan menghasilkan oocyt kembali.

Oocyt dari usus akan keluar bersama kotoran anjing. Di luar tubuh anjing oocyt akan berkembang menjadi oocyt infektif (mengalami sporulasi) tergantung dari cocok tidaknya kondisi lingkungan, temperature dan kelembaban.

Gejala klinis
Gejala menciri pada anak anjing adalah berak lunak sampai encer berlendir, berdarah dari berwarna kecoklatan sampai kemerahan, nafsu makan berkurang, anjing depresi, lemah, lesu, pucat, anemia, dehidrasi dan bila diikuti infeksi sekunder akan terjadi demam. Gejala ini sering terlihat pada anak anjing dan anjing remaja.

Pada anjing dewasa tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas, tetapi bila diperiksa kotorannya, akan terlihat positif adanya oocyt isospora.

Pencegahan dan pengobatan
Tindakan pencegahan terhadap penyakit ini adalah menjaga kebersihan kandang, kandang harus tetap bersih dan kering, kotoran anjing segera dibersihkan. Penempatan tempat makan dan minum anjing harus diletakkan pada tempat yang tidak mudah tercemar kotoran anjing.

Selain itu pemberian makanan yang bergizi dengan kadar protein tinggi, serta pemberian mineral dan vitamin akan membentuk daya tahan tubuh yang tinggi terhadap serangan penyakit. Pemberian obat cacing harus diberikan dan jangan sampai terlambat.

Pengobatan
Bila anjing mencret encer dan berdarah segera diberikan pengobatan, bisa dengan pemberian preparat sulfa dan obat-obat antidiare lainnya.

Bila kondisi anjing lemah sekali sebaiknya dibawa ke dokter hewan terdekat untuk diadakan pemeriksaan yang teliti dan segera diobati seperlunya (injeksi untuk tambah darah, menghentikan perdarahan dan pemberian preparat sulfa).

Pengendalian Penyakit Cacingan pada Sapi


Pengendalian penyakit cacing memerlukan penanganan yang terencana secara baik dengan memperhatikan faktor pengobatan dan tata laksan pemeliharaan ternak yang memadai. Peternak seringkali mengabaikan manajemen peternakan yang baik. Apabila dikaji dengan seksama akan terlihat betapa besar kerugian yang dapat ditimbulkan oleh infeksi cacing.

Obat yang diberikan dan cara pemberiannya harus sesuai dengan petunjuk dokter hewan agar lebih efektif dan efisien. Pemberantasan penyakit cacing pada sapi tidak cukup hanya mengandalkan kemajuan ilmu pengobatan saja, tetapi harus memperhitungkan pula fak

Pengobatan atau pencegahan cacing yang sering digunakan adalah piperasin, albendasol, wormsol, tetramisol dan lain-lain. Obat-obatan ini semua tidak bisa hanya diberikan sekali saja. Pemberian obat-obat tersebut harus diulang-ulang dan disesuaikan dengan daur hidup cacing.

tor ekonomi, penataan lingkungan, kebersihan kandang dan daur hidup cacing.

Obat-obat cacing mungkin efektif membunuh cacing tetapi perlu diketahui bahwa obat-obat tersebut tidak efektif membinasakan telur cacing. Karena itu pemberian obat-obatan harus diulang lagi steelah diperkirakan telur dalam tubuh induk semang menetas.

Situasi lingkungan dan pengairan tempat penggembalaan perlu diperhatikan dengan baik agar dapat dihindari daerah penggembalaan yang lembab dan basah atau banyak kubangan tidak sehat yang memungkinkan sebagai tempat hidupnya induk semang antara yaitu siput. Kesehatan lingkungan penggembalaan biasanya dapat dipelihara dengan baik melalui system penggembalaan bergilir dan menghindari pemanfaatan padang penggembalaan secara terus menerus.

Kebersihan kandang harus terjaga dan dihindari adanya pakan yang masih tersisa di malam hari. Sejauh mungkin diupayakan agar seluruh pakan yang disediakan habis termakan dan tidak banyak yang jatuh berceceran di lantai atau menumpuk di sekitar kandang.

Padang penggembalaan yang pernah tercemar berat oleh cacing harus segera dikosongkan dan tidak dipakai lagi untuk menggembalakan sapi dalam waktu yang cukup lama sampai semua populasi cacing serta induk semang antara (siput) diperkirakan mati. Jika perlu tanah padang penggembalaan tersebut sementara waktu dibajak untuk ditanami jenis tanaman lain sebelum dimanfaatkan kembali sebagai lading penggembalaan seperti semula.

Sapi muda dan sapi dewasa sebaiknya tidak digembalakan tercampur di tempat yang sama. Beberapa jenis cacing dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan apabila menginfeksi sapi muda dapat menimbulkan penyakit yang berat atau bahkan berakibat fatal.

Salmonellosis pada Sapi

Salmonellosis adalah penyakit menular pada hewan termasuk sapi dan kerbau. Organisme penyebab memperbanyak diri dalam usus dan menyebabkan peradangan usus atau enteritis. Invasi organisme ke dalam aliran darah dapat menyebabkan septikemia. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan menyebabkan enteritis dan gastroenteritis.
Penyebab
Pada sapi penyakit ini disebabkan oleh Salmonella dublin, Salmonella typhimurium atau Salmonella newport. Bakteri ini berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, motil dan bersifat gram negatif.

Kuman penyebab penyakit ini tidak tahan lama hidup di alam, terutama dalam suasana kering, namun dapat hidup di dalam tinja tikus sampai 148 hari.

Penularan
Penularan dapat terjadi melalui pakan atau minuman yang tercemar oleh kuman. Pencemaran masih dapat terjadi dengan perantaraan tinja penderita yang tetap mengeluarkan kuman Salmonella antara 3-4 bulan setelah sembuh. Penularan juga dapat terjadi secara intra uterin.

Gejala
Dalam keadaan akut, gejala klinis berupa demam, lesu, kurang nafsu makan. Sapi perah yang terserang penyakit ini mengakibatkan penurunan produksi susu. Hewan menjadi diare yang kadang berdarah dan berlendir.

Kematian dapat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah sakit atau dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.

Hewan bunting dapat mengalami keguguran dan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik. Hewan dewasa dapat bertindak sebagai pembawa sifat sampai dengan 10 minggu setelah sembuh.

Anak sapi umur 2 sampai 6 minggu yang terserang secara akut dapat menyebakan septikemia tanpa timbul diare. Beberapa kasus memperlihatkan demam, kurang nafsu makan, lesu, dehidrasi dan kurus. Bila penyakit berlangsung kronis dapat terjadi radang sendi. Pedet yang terserang penyakit ini jarang menjadi pembawa penyakit. Angka kesakitan penyakit ini adalah 80 % dan kematian mencapai 20 %.

Pengendalian
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi. Sanitasi kandang, kebersihan peraltan dan lingkungan peternakan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pencemaran. Untuk memperkecil kemungkinan pencemaran padang rumput dilakukan rotasi penggunaan penggembalaan.

Antibiotik spektrum luas diberikan dengan suntikan. Pemberian obat melalui mulut diperkirakan akan berdampak negatif terhadap kompetisi jasad renik di dalam saluran pencernaan.

Kejadian di Indonesia
Salmonellosis pada sapid an kerbau ditemukan di beberapa tempat. Letupan penyakit pada kerbau pernah dilaporkan di Tanah Karo, Sumetera Utara pada tahun 1981. Tahun 1984 juga dilakporkan infeksi oleh Salmonella dublin pada sapi dan kerbau di Sumatera Utara. Tahun 1988 Salmonellosis telah menyebabkan banyak kematian pada kelompok anak sapi perah di Kabupaten Semarang.

Peritonitis Menular Kucing


Peritonitis menular atau Feline Infectious Peritonitis (FIP) dalam bentuk klasik adalah penyakit yang berjalan progresif dan umumnya fatal pada kucing.

Pada kucing yang terinfeksi penyakit ini ditandai dengan peritonitis yang bersifat sero-fibrinosa atau dalam rongga perut tertimbun cairan yang banyaknya bervariasi dan mengandung banyak fibrin.

Penyakit ini baru dikenal dalam tahun 1960-an dan pertama kali di temukan di Amerika Serikat. Dalam tahun-tahun berikutnya penyakit ini ditemukan di banyak negara Eropa.

Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang tergolong dalam famili Coronaviridae. Virus ini berbentuk pleomorfik dan berdiameter 100 nm. Virus FIP erat hubungannya dengan coronavirus anjing dan coronavirus 229E pada manusia.

Cara penularan
Infeksi virus FIP hanya ditemukan pada kucing dan umumnya ditemukan secara sporadik. Mengenai cara infeksi terjadi sesungguhnya belum jelas. Virus ditemukan dalam darah dan eksudat kucing sakit.

Sebagian besar infeksi berlangsung secara subklinis.  Pada kucing yang terinfeksi ditemukan antibodi spesifik dengan titer tinggi, di samping itu kucing memperlihatkan hipergammaglobulinemia. Pada penyakit ini mungkin kompleks antigen-antibodi dan komplemen memegang peranan.

Gejala Klinis
Penyakit mulai dengan gejala-gejala tidak khas, kehilangan nafsu makan, lesu, suhu tinggi dan kemudian terjadi asites.

Palpasi abdomen tidak menimbulkan gejala nyeri walaupun peritonitis telah berkembang. Sekali-kali terjadi pleuritis dengan pembentukan cairan dalam toraks sehingga kucing sesak nafas. 

Gejala saraf biasanya terlihat seperti paresis, ataksis, gangguan koordinasi, hiperestesi dan kekejangan. Biasanya kucing mati dalam 1-8 minggu sesudah terlihat gejala-gejala jelas.

Diagnosa
Diagnosa ditetapkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan histopatologis dan pemeriksaan laboratorium. Pada kasus-kasus klasik, diagnosa tidak sulit. Bila kucing di punksi maka dari ruang abdomen keluar cairan berlendir dan sebagian akan membeku bila kena udara luar. Secara histopatologi ditemukan lesi berbentuk granuloma dan biasanya nekrosa ditemukan pada serosa dan alat-alat tubuh.

Pemeriksaan laboratorium dengan tes imunoflouresensi indirek dilakukan untuk membuktikan adanya antibodi. Pada kucing yang secara klinis kelihatan sehat dapat ditemukan badan-badan penangkis. Titer yang sangat tinggi hanya terlihat pada kucing yang klinis menderita FIP.

Diagnos Banding
Penggumpalan cairan dalam rongga perut dan dada menimbulkan dugaan mengenai adanya gangguan jantung, tumor, piometra, sobek kandung kencing dan peritonitis oleh infeksi bakteri dan jamur.

Kelainan-kelainan pada mata selain pada FIP juga ditemukan pada toksoplasmosis dan leksosis. Gejala saraf ditemukan pada toksoplasmosis, infeksi mikotis, dan ensefalopati bakterial.

Pencegahan dan Pengobatan
Bila diagnosa FIP sudah ditentukan maka prognosanya sulit. Untuk pencegahan, vaksinasi belum ada. Kucing yang terinfeksi sebaiknya disingkirkan/musnahkan.

Jumat, 25 Mei 2018

Cara Diagnosa dan Penanganan Cacingan pada Sapi

Salah satu problem tidak teridentifikasinya kasus cacingan pada sapi yaitu akibat minimnya gejala klinis yang teramati. Bahkan pada kasus cacingan yang masih awal, sapi biasanya masih terlihat sehat tanpa menunjukkan gejala klinis.

Selain itu, gejala klinis yang muncul pada kasus cacingan pun merupakan gejala yang sangat umum sehingga kadang masih menyulitkan untuk mengarahkan diagnosa. Terkecuali jika kasus cacingan sudah sangat parah, maka dapat kita temukan adanya cacing dewasa pada feses sapi, terutama untuk cacing yang menyerang saluran pencernaan.

Untuk membantu meneguhkan diagnosa cacingan pada sapi dapat dilakukan melalui uji laboratorium, yaitu uji feses. Pemeriksaan atau uji feses bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing secara kualitatif maupun kuantitatif.

Selain keberadaan telur, pada feses juga dapat ditemukan keberadaan larva cacing. Lebih jauh lagi, pada uji feses ini dapat diidentifikasi jenis cacing yang menyerang berdasarkan karakteristik telur yang ditemukan.
Melalui uji ini juga kasus cacingan pada sapi dapat diidentifikasi sejak dini sehingga pengobatannya pun akan relatif lebih mudah dan kerugian ekonomi yang lebih besar dapat diminimalkan.

Pengendalian dan Penanganan Cacingan
Pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu memutus siklus hidup dari parasit cacing tersebut.

Cara ini dianggap cukup murah dan sangat efektif untuk memberantas kasus cacingan pada sapi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi di antaranya :

Program pemberian anthelmintika (obat cacing)
Pemberian anthelmintika merupakan langkah utama dalam upaya pengendalian dan penanganan cacingan baik pada pedet maupun sapi dewasa.

Pemberian anthelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak sapi yang telah dipastikan positif cacingan mengingat hampir sebagian besar sapi terutama yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan.

Program pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan sejak masih pedet (umur 7 hari) dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus siklus hidup parasit tersebut.

Sanitasi kandang dan lingkungan
Kasus cacingan pada sapi akan menjadi lebih sulit diberantas jika tidak ditunjang dengan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik.

Upaya yang dapat dilakukan di antaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan di sekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Selain itu, tanaman dan rumput-rumput liar di sekitar kadang dibersihkan serta melakukan desinfeksi kandang secara rutin.

Sistem penggembalaan dan pemberian rumput
Saat menggembalakan sapi, sebaiknya hindari tempat-tempat penggembalaan yang becek dan padang rumput yang diberi pupuk kandang tanpa diketahui dengan jelas asal usulnya. Selain itu, ternak sapi sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah.

Memutus siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir. Artinya sapi tidak terus-menerus digembalakan di tempat yang sama. Pada padang penggembalaan juga dapat ditaburkan copper sulphate untuk mencegah perkembangan larva cacing hati.

Untuk sapi yang dipelihara secara intensif, pemberian rumput segar sangat tidak dianjurkan. Sebaiknya rumput dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi guna menghindari termakannya larva cacing yang menempel pada rumput.

Populasi inang antara
Mengingat beberapa spesies cacing membutuhkan inang antara seperti siput air tawar untuk kelangsungan hidup cacing hati, maka populasinya menjadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian dan penanganan kasus cacingan.

Populasi siput air tawar dapat dikurangi dengan cara memelihara itik atau bebek yang berperan sebagai predator alami inang antara tersebut. Selain itu, lingkungan harus dijaga supaya tidak terlalu lembab dan basah karena kondisi tersebut sangat baik untuk kelangsungan hidup siput air tawar.

Kualitas Pakan
Percaya atau tidak, bahwa kualitas pakan mempengaruhi tingkat kejadian cacingan pada ternak sapi. Kualitas pakan, baik rumput maupun konsentrat, yang baik dapat membantu meningkatkan daya tahan ternak sapi karena nutrisi yang diperlukan tercukupi.

Monitoring telur dan larva cacing
Sebagaimana kita ketahui bahwa penularan kasus cacingan sangat mudah terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya monitoring secara rutin (2-3 bulan sekali) terhadap telur dan larva cacing melalui uji feses.

Upaya pengendalian dan penanganan cacingan ini sebenarnya sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun, untuk menunjang hal ini diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Jika kedua modal utama tersebut hanya dimiliki oleh sebagian peternak, maka dapat kita ramalkan tingkat keberhasilan pun menjadi lebih kecil.

Dari seluruh bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit cacingan telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan kerugian cukup besar. Guna mengatasi kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian dan penanganan dengan memutus siklus hidup cacing yang sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak.

Kamis, 24 Mei 2018

Faktor Pemicu Cacingan pada Sapi

Kasus cacingan yang terjadi pada sapi disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi predisposisi (pemicu) penyakit tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya umur, musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor (inang antara) dan metode pemeliharaan.

Umur
Jika dilihat dari umur serangannya, kasus cacingan pada sapi dapat menyerang semua umur. Namun, berdasarkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan, pedet cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kasus cacingan. Pedet lebih rentan terserang penyakit cacingan karena memiliki daya tahan tubuh yang belum optimal.Musim atau kondisi lingkungan

Kasus cacingan terutama sering ditemukan pada saat musim hujan atau kondisi lingkungan lembab dan basah yang umumnya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Kondisi tersebut menjadi media yang cocok untuk perkembangan telur cacing menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh sapi.

Pada peternakan sapi skala kecil, umumnya sanitasi atau kebersihan kandang masih sangat minim, sehingga kandang lebih sering dalam kondisi yang kotor dan becek. Oleh karena itu, besar kemungkinannya sapi yang dipelihara dalam kandang seperti ini terserang cacingan.

Keberadaan vektor (inang antara)
Beberapa jenis cacing yang menyerang sapi membutuhkan inang antara seperti siput air tawar dalam siklus hidupnya. Pada kondisi yang lembab, hewan ini mampu hidup dan berkembang biak dengan sangat baik. 

Maka tak heran pada saat musim hujan siput air tawar ini sering kita jumpai karena populasinya yang bertambah banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus cacingan pada sapi, kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan resiko serangan parasit cacing pada ternak sapi.

Metode pemeliharaan
Jika ditinjau dari metode pemeliharaannya, sapi yang dipelihara dengan sistem tradisional (ekstensif) lebih beresiko terserang penyakit cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih modern (intensif). 

Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif, sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. 

Sedangkan pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing.

Rabu, 23 Mei 2018

Cacingan pada Sapi



Penyakit cacing sapi baik pada usaha peternakan skala besar maupun peternakan tradisional sangat merugikan. Hal ini dikarenakan penyakit cacing yang menginfeksi sapi dapat meyebabkan penurunan berat badan sapi secara drastis, nafsu makan berkurang, lemah, anemia hingga menyebabkan kematian.

Akan tetapi biasanya pada usaha peternakan komersial skala besar program pemberian obat cacing terencana dengan baik, sedangkan pada peternakan tradisional skala kecil atau skala pemeliharaan rumah tangga, pemberian obat cacing masih terabaikan. 

Cacingan dikenal dengan istilah helminthiasis yaitu penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan hati.

Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau cacing hati (Trematoda).

Cacing gilig (Nematoda)
Sesuai dengan namanya, cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil.

Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum, Agryostomum vryburgi, Bunostomum phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus. 

Namun, dari beberapa spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet (sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan istilah toxocariasis.
Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki ciri khas dinding telur yang tebal.

Kasus toxocariasis dimulai dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi. Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar bersama kolostrum.

Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang bisa ikut terbuang bersama feses sapi.

Dilihat dari siklus hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui kolostrum yang mengandung larva cacing.

Cacing pita (Cestoda)
Jenis cacing pita yang dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum ditemukan pada sapi terutama oleh genus Taenia, yaitu Taenia saginata. 

Serangan cacing pita ini tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot. 

Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan penyumbatan usus.

Panjang cacing T. saginata dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid, pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu telur. 

Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.

Cacing hati (Trematoda)
Kasus cacingan pada sapi akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan hewan kurban khususnya sapi.

Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia, yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica. 

Secara umum, cacing hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan istilah fasciolosis.

Siklus hidup cacing F. gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama feses. 

Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput muda Lymnaea rubiginosa.

Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. 

Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman. Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.

Gejala Klinik
Kasus cacingan pada ternak sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal serangan gejalanya sulit untuk diamati. 

Secara umum sapi yang terserang cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami anemia.

Berdasarkan kasus yang dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian. 

Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.

Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini.

Sementara pada kasus fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan patologi anatomi terutama pada organ hati. 

Pada kasus akut (kasus penyakit berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati, permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong empedu dan usus mengandung darah. 

Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati). Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali terdapat batu empedu.

Fasciolosis pada Sapi



Infeksi cacing hati pada sapi umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Cacing ini dapat pula menginfeksi domba, kambing, dan ruminansia yang lain. Penyakit ini dapat juga disebabkan oleh F. hepatica. Kedua jenis parasit ini berada dalam saluran empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Kerbau yang memiliki kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terinfeksi cacing ini.

Cacing muda bisa mematikan karena mengakibatkan kegagalan fungsi hati. Pada daerah-daerah tertentu fasciolosis merupakan faktor pendorong terjadinya infeksi hepatitis nekrotik (black disease) yaitu suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh bentuk vegetatif Clostridium novyi tipe B karena kuman ini dapat memperbanyak diri dalam lesi anoksik yang ditimbulkan oleh cacing-cacing yang bermigrasi. Pada saat akhir migrasi cacing-cacing ini akan memasuki saluran empedu.

Penyebab
Penyebab fasciolosis ini adalah F. gigantica dan cacing F. hepatica. Bagian punggung dan bawah tubuh cacing hati atau cacing daun ini berbentuk gepeng, tidak beruas, berwarna kelabu berbentuk seperti daun yang membulat di bagian depan dan ekor. Panjang F. gigantica dapat mencapai 7,5 cm. Sedangkan F. hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bawah tubuhnya. 

F. gigantica juga berbeda dengan F. hepatica karena F. gigantica memiliki konus atau kerucut anterior yang lebih pendek, bahu (shoulder) yang kurang jelas, percabangan saekanya lebih banyak, dan saeka hampir mencapai sisi paralel tubuh.

Daur hidup
Daur hidup cacing Fasciola terjadi pada induk semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari.

Mirasidium kemudian berenang di air dengan menggunakan silia yang menutupi tubuhnya. Bila bertemu dengan siput genus Limnaea, mirasidium menembus jaringan siput dan membentuk sporosis. Pada stadium lebih lanjut, setiap sporosis akan terbentuk 5 sampai 8 redia yang selanjutnya membentuk serkaria dan kemudian diikuti oleh stadium akhir metaserkaria yang infektif.

Sapi terinfeksi penyakit ini karena memakan rumput yang mengandung metaserkaria. Setelah metaserkaria termakan oleh sapi akan menembus dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam setiap akhir dari larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk menjadi cacing dewasa.

Gejala klinis
Sapi yang terinfeksi cacing akan menunjukkan gejala gangguan pencernaan. Infeksi yang ringan tidak menunjukkan gejala. Apabila terjadi infeksi yang banyak oleh cacing hati, maka gejalanya dapat sangat akut dan cepat menyebabkan kematian. Gejala yang sering terjadi adalah sapi menjadi lemah dan depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit.

Bila keadaannya telah kritis sapi menjadi kurus dan lemah. Selaput lender mata menjadi pucat, terjadi busung terutama diantara sudut dagu dan bawah perut. Sapi semakin lemah dan kemudian terjadi kematian dalam waktu 1 sampai 3 bulan.

Pengobatan dan pengendalian
Pengobatan cacing dapat menggunakan heksakloretan dengan cara diminumkan atau menggunakan mebendasol 100 ml/50 kg berat badan.

Anthelmintik fasciolisidal seperti oxyclozanide, rafoxanide, albendazole, dan triclabendazole dapat digunakan untuk mengatasi cacing dewasa.
Untuk pengendalian cacing dapt dilakukan secara efektif dengan cara memberantas populasi siput sebagai induk semang antara dengan bahan kimia, dengan predator atau melakukan rotasi padang gembalaan.

Mengeringkan (drainase) merupakan pemecahan yang paling baik, khususnya apabila Lymnae trucantula terlibat di dalamnya, akan tetapi cara ini dianggap terlalu mahal. Pengendalian biologi terhadap Lymnea oleh spesies ikan tertentu, itik atau siput Marisa cornuarietis secara percobaan memang menjanjikan namun tak satupun berhasil diterapkan di lapangan secara luas.